Kamis, 05 Mei 2011

Antropologi Pendidikan

PENANAMAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL TERHADAP KEBERAGAMAN AGAMA SEJAK DINI

Quantcast



Perbedaan di setiap agama merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari dari setiap agama di dalam lingkungan yang plural. Jika pluralisme tidak disikapi secara tepat maka akan menimbulkan problem dan konflik antar agama. Setiap agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan, bukan saja antar manusia, tetapi juga antar sesama makhluk Tuhan penghuni semesta ini. Afif Muhammad (Dadang Kahmad, 2006: 147) mengatakan bahwa agama acapkali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda. Di satu sisi agama dipandang oleh pemeluknya sebagai sumber moral dan nilai, namun di sisi yang lain agama dianggap sebagai sumber konflik. Untuk itu, perlu adanya pendekatan-pendekatan yang tepat untuk mengatasi konflik antarumat
beragama yang sangat marak terjadi di negeri tercinta ini.
Adanya penanaman sejak dini mengenai pendidikan mutikulturalisme dirasa sangat perlu untuk menciptakan kerukunan antarumat beragama yang bisa disosialisasikan di dalam keluarga atau di sekolah karena pendidikan multikulturalisme mengajarkan nilai-nilai akan suatu persamaan derajat dan sikap toleransi di setiap perbedaan. multikulturalisme adalah suatu paham yang berupaya me
mahami perbedaan yang ada pada sesama manusia, serta bagaimana agar perbedaan itu diterima sebagai hal yang alamiah dan tidak menimbulkan tindakan diskriminatif (dalam Ainul Yaqin, 2005: xix). Dengan adanya pendidikan multikulturalisme diharapkan terjadinya kerukunan antarumat beragama yang plural ini.
1. Multikulturalisme Agama yang Plural
Agama adalah seperangkat aturan atau ketentuan hdup yang melekat dalam diri manusia agar hidupnya teratur yang merupakan cara menuju suatu kehidupan yang selamat (Ajat Sudrajat, dkk., 2008: 7-8). Namun, dikatakan sebelumnya bahwa agama itu bermuka dua karena di sisi lain agama bisa menjadi salah satu penyebab konflik antarumat beragama. Banyak indikasi yang menjelaskan adanya faktor konflik yang ada di masyarakat. Secara tegas, Al-Quran menyebutkan bahwa faktor konflik itu berawal dari manusia. Teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan di antara kelompok dan kelas serta kecenderungan ke arah perselisihan, ketegangan, dan perubahan. Yang perlu digarisbawahi pada kenyataan ini adalah “masyarakat” karena masyarakat dalam hal ini menjadi lahan yang tumbuh subur bagi tumbuhnya konflik. Bibitnya bisa bermacam-macam faktor, yakni faktor ekonomi, politik, sosial, bahkan agama (Dadang Kahmad, 2006: 147-148).
Setiap agama memiliki kebenaran.
Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif, personal, oleh setiap pemeluk agama dan tidak lagi utuh dan absolute. Keyakinan tersebut menjadi legitimasi dari semua perilaku pemaksaan konsep-konsep gerakan kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman. Armahedi Mahzar menyebutkan bahwa absolutisme, fanatisme, ekstremisme, dan agresivisme adalah “penyakit” yang biasanya menghinggapi aktivis gerakan keagamaan. Absolutisme adalah kesombongan intelektual, ekslusivisme adalah kesombongan intelektual, fanatisme adalah kesombongan emosional, ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap, dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik. Tiga penyakit pertama adalah wakil resmi kesombongan dan dua penyakit terakhir adalah wakil resmi sifat berlebihan-lebihan (dalam Dadang Kahmad, 2006: 170-171). Menurut Max Muller, umat manusia sepanjang sejarahnya juga pernah mengalami masa kanak-kanak, cara berpikirnya pun secara kanak-kanak (dalam Ishomudin, 2002: 122). Bahkan sekarang pun dapat dikatakan bahwa umat manusia itu belum melampaui “masa kanak-kanak” itu sehingga manusia dalam menyelesaikan masalah menggunakan akalnya tanpa pikir panjang dan disertai emosi yang besar.
Dalam multikulturalisme, kefanatikan, purbasangka, rasisme, tribalisme, dan sikap lain yang menimbulkan suatu anggapan kebenaran akan suatu yang diyakininya diterima secara inklusif dengan keanekaragaman yang ada. Dalam dunia multikultural harus mementingkan adanya berbagai macam perbedaan antara satu dengan yang lainnya dan ada interaksi sosial di antara mereka. Masyarakat multikultural juga memperjuangkan kesederajatan antara kelompok minoritas dan mayoritas, baik secara hukum maupun secara sosial. Multikulturalisme menuntut masyarakat untuk hidup penuh toleransi, saling pengertian antar budaya dan antar bangsa dalam membina suatu dunia baru (Syahrial Syarbaini, Rusdiyanta, 2009: 114). Max Muller (dalam Ishomudin, 2002: 121) mengemukakan pendapat persamaan hakiki daripada agama-agama. Menurut Muller, tiap-tiap agama adalah benar, bahkan agama-agama suku.
2. Upaya menciptakan kerukunan dalam kehidupan antarumat beragama
Upaya yang bisa dilakukan untuk menciptakan kerukunan kehidupan antarumat beragama, di antaranya adalah:
a.       Mensosialisasikan pendidikan multikultural di sekolah, Banks (dalam Farida Hanum, 2009) berpendapat bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam bentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. Banks mengemukakan empat pendekatan yang mengintegrasikan materi pendidikan multikultural ke dalam kurikulum maupun pembelajaran di sekolah, diantaranya adalah sebagai berikut:
  • Pendekatan kontribusi (the contributions approach), substansi pendidikan multikultural pada tahap ini adalah menanamkan bahwa manusia yang hidup di sekitarnya, di tempat lain, dan di dunia ini sangat beragam dan sebenarnya semua nilainya sama. Implementasi pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan mengajarkan kepada peserta didik untuk saling menghormati antarumat beragama yakni dengan tidak mengejek temannya saat sedang melakukan ibadah.
  • Pendekatan aditif (aditif approach), pada tahap ini dilakukan penambahan materi, konsep, tema, prespektif terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan, dan karakteristik dasarnya. Pendekatan ini sebenarnya merupakan fase awal dalam melaksanakan pendidikan multikultural, sebab belum menyentuh kurikulum utama. Implementasi pendidikan multikultural pada tahap ini bisa dilakukan kepada peserta didik dengan cara meminta siswa memiliki teman korespondensi/email/facebook atau sahabat dengan siswa yang berbeda agama.
  • Pendekatan Transformasi (the tansformation approach), Pendekatan transformasi berbeda secara mendasar dengan pendekatan kontribusi dan aditif. Pendekatan ini mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan kompetensi dasar siswa dalam melihat konsep, isu, tema, dan problem dari beberapa perpektif dan sudut pandang etnis. Banks menyebut ini sebagai proses multiple acculturation, sehingga rasa saling menghargai kebersamaan dan cinta sesama dapat dirasakan melalui pengalaman belajar. Implementasi yang bisa dilakukan terhadap peserta didik adalah bila membentuk kelompok diskusi tiap kelompok seyogyanya terdiri dari siswa yang berbeda latar belakang sperti kemampuan, jenis kelamin, perangai, status sosial, ekonomi, dan agama agar mereka dapat saling belajar kelebihan dan kekurangan masing-masing.
  • Implementasi pendekatan aksi sosial, dalam tahap ini siswa sudah diminta untuk menerapkan langsung tentang konsep, isu atau masalah yang diberikan kepada mereka karena tujuan dari pengjaran dalam pendekatan ini adalah mendidik sisea mampu melakukan kritik sosial, mengambil keputusan dan melaksanakan rencana alternative yang lebih baik. Dalam arti siswa tahu tentang permasalahan yang terjadi, menganalisis kelemahan dan kekuatan yang ada serta member alternative pemecahan dengan melakukan solusi pemecahannya.
Implementasi yang bisa dilakukan dengan pendekatan ini adalah dengan mengkaji atau mengadakan studi kasus mengenai konflik-konflik yang terjadi atas nama agama.
b.      Dengan jalan agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Dengan jalan ini berari menyakini bahwa di antara agama satu dengan yang lainnya selain terdapat perbedaan juga terdapat persamaan (dalam Ishomudin, 2002: 125)
Dalam menghadapi kenyataan bahwa keberagaman agama di dunia ini memiliki persamaan dan juga perbedaan, kita sebagai manusia harus bisa menghargai perbedaan-perbedaan itu  karena pada intinya agama-agama itu mempunyai tujuan suatu kebaikan dari setiap pemeluknya. Agar terhindar konflik yang berbau agama kita seharsnya menanamkan pendidikan multikutural kepada anak-anak sejak dini agar mereka peka terhadap realitas sosial yang akan dihadapi anak-anak nantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar